Sebagian
orang memilih untuk berbagi pada saat sudah kaya. Sedang makna kaya sendiri itu
relatif. Bisa jadi uang jutaan rupiah masih belum bisa disebut kaya karena di
dalam fikirannya masih membayangkan uang milyaran rupiah. Bisa juga definisi
kaya adalah saat kita mampu berbagi kepada sesama insan yang membutuhkan dalam
keadaan apapun. Saya tidak tahu mau menempatkan diri saya pada definisi yang
mana satu. Karena bagi saya sendiri, saya masih belum mampu untuk berbagi
seperti yang dilakukan oleh seorang Anazkia.
Mengenalinya
sejak lima tahun yang lalu karena memiliki kesamaan hobi, yaitu menulis,
membuat saya selalu kagum dengan dirinya. Ia sama seperti saya saat itu, yaitu
seorang buruh migran yang memiliki hobi menulis. Jika sebagian buruh migran
yang merasakan penat dan lelah bekerja memilih untuk mengisi waktu luang dengan
Me Time, berbeda sekali dengannya. Ia
gigih dan semangat untuk melakukan kegiatan sosial. Kegiatan sosial yang ia
lakukan dari jarak jauh adalah mengkoordinir kegiatan hibah buku. Menyalurkan
sumbangan buku ke daerah pelosok dan banyak taman baca yang memerlukan.
Dia
selalu mengatakan, “Apa yang saya lakukan bisa dilakukan oleh orang lain,”
Menurut
saya tidak begitu. Banyak sekali orang yang memiliki kesempatan dan kemampuan
untuk melakukan hal serupa, namun tidak semua orang mampu konsisten
menjalankannya. Memulai gerakan sosial dengan visi tertentu mungkin bisa
dilakukan semua orang, namun konsisten pada apa yang dilakukan itu memerlukan
sebuah perjuangan. Hanya orang-orang yang memiliki visi serta niat yang jelas,
kemampuan berorganisasi yang mumpuni serta mempunyai optimisme tinggi saja yang
mampu bertahan.
Itu
sosok yang saya lihat dari seorang Anazkia dari pandangan seorang teman. Saya
hanya melihat dari jarak jauh, melihatnya dari laman facebook dan personal blog
yang ia miliki. Pandangan saya semakin dalam begitu saya sudah berteman dekat
dengannya dan lebih sering melakukan kegiatan bersama.
Hal
yang paling saya ingat dari semua nasihat ketika saya masih menjadi buruh
migran di Malaysia adalah, “Uang ringgit yang kita dapat hari ini selalu tak
akan pernah cukup. Bekerja satu tahun lagi atau sampai sepuluh tahun lagi akan
tetap sama saja. Pulanglah!”
Nasihat
itu selalu melekat dalam diri saya. Memang benar, sebesar apapun uang yang kita
dapat jika ia hanya berwujud uang tanpa digunakan untuk kebaikan berbagi, uang
itu akan habis sia-sia. Dan sampai bertahun-tahun kita bekerja, kita tidak akan
pernah mengenal rasa cukup.
Saya
memutuskan pulang dan berhenti menjadi buruh migran beberapa bulan yang lalu.
Saya memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Anazkia menjadi satu-satunya sahabat
yang saya mintai pendapat. Ia juga yang menampung saya selama beberapa hari. Saya
singgah ke kampung halamannya di Cilegon. Beberapa hari di sana, saya
dikenalkan dengan teman-teman Hibah Buku. Kebanyakan dari mereka adalah
mahasiswa.
Saya
sering merasa takjub, bagaimana mungkin seseorang yang lulusan SMA bisa
mengayomi pemuda-pemudi di kota cilegon untuk bergerak bersama, membangun generasi
melek baca. Beberapa taman bacaan
didirikan. Ia bersama teman-temannya giat untuk menggalang hibah buku,
mengelola dan menyalurkannya ke taman bacaan yang memerlukan. Perjalanan dari
satu kota ke kota lainnya adalah untuk melihat ketersediaan buku-buku di
pelosok dan menggerakkan anak untuk gemar membaca.
Setiap
bertemu dengannya tidak pernah sepi ide. Ia sering mengumpulkan teman-temannya
untuk duduk bersama, tentunya dengan hidangan makanan yang sering ia buat
sendiri. Mendoan, sambal tongkol, sambal goreng dan nasi uduk menjadi menu
andalan yang akan selalu ditanya oleh teman-temannya. Tanpa dipinta pun, Ia
dengan senang hati membuat makanan-makanan itu. Mungkin itu yang menjadi
perekat keakraban teman-teman dari hibah buku. mengolah ide sambil makan.
pernah dengar kan pepatah menarik, Jatuh
cinta itu dimulai dari perut. Mungkin itu yang selalu diterapkan olehnya
sehingga teman-teman hibah buku senantiasa akrab, solid dan semangat.
Selain
hibah buku, Ia juga sering mengajak teman-teman untuk melakukan gerakan berbagi
sembako, berbagi makanan, jualan baju bekas dan juga berbagi martabak untuk
orang-orang yang kurang mampu di wilayah Cilegon. Kegiatan diskusi juga kerap
dilakukan setiap malam jum’at.
Ia
bekerja di Jakarta dan hampir tiap minggu ia akan menyempatkan diri pulang ke
Cilegon. Jarak Jakarta ke Cilegon itu bukan jarak yang dekat. Jika naik bus,
bisa sampai dua jam lebih. Ketika ia datang ke tempat kerja saya, ia sering
datang lewat tengah malam. Sampai di rumah juga tidak langsung tidur, ia masih
menyempatkan diri untuk berdiskusi. Mulai dari politik, tulisan, buku dan
terkadang curhat. Sering saya letih sendiri melihatnya yang begitu lincah
bergerak ke sana- ke mari. Jarang sekali ia mengeluh. bahkan, saya sendiri yang
justru sering mengeluh padanya. Baginya, sebotol minyak kayu putih itu adalah
obat untuk melenyapkan segala penat.
Saya
pernah bertanya mengenai gaji yang ia dapat dari tempat kerjanya. Setiap
menjawab, ia tidak pernah menyebut nomilan. Ia hanya bilang, “Satu-satunya
lulusan SMA yang duduk di kantor itu mungkin cuma saya, lainnya Sarjana,”
Ketika
ia baru pulang dari Bima untuk ikut sekolah relawan selama dua minggu dan saya
sedang memerlukan uang. Saya berniat pinjam kepadanya. Padahal, Ia sendiri juga
sedang tidak punya uang banyak. Ia pun meminjamkan uang kepada saya tanpa
banyak Tanya. Kemudian setelah beberapa hari, ia baru cerita kalau ia sedang
tidak punya uang. Kepulangannya dari
Bima juga tidak membawa tangan kosong, ia menggagas sebuah ide untuk
menyumbangkan Al-quran dan buku pelajaran. Karena di beberapa sekolah di Bima
hampir semua alquran hancur karena banjir. Sedangkan kegiatan baca al-qur’an
selama lima belas menit sebelum memulai pelajaran menjadi kegiatan rutin di
beberapa sekolah di sana.
Hal
nekad lainnya yang saya dengar adalah ketika
ia sedang melakukan perjalanan ke Kediri dengan sisa uang hanya Rp 10.000, Ia
masih tenang-tenang saja. Pernah juga Ia ke Malaysia dengan sisa uang RM 1,
itupun nyasar ke KL Sentral padahal tujuannya ke Putrajaya. Dan harga tiket
menuju putrajaya adalah RM 28. Dari kenekatan-kenekatan yang saya anggap
sebagai hal gila justru menjadi pelajaran penting untuk saya, “Besarnya niat
baik mengalahkan segala ketakutan apapun, terkadang menghasilkan tingkah konyol
dan hanya Tuhan saja yang mampu menolongnya”
Uangnya
memang tidak banyak. Penghasilannya memang tidak puluhan juta. Tidak jarang
uang yang ia miliki sangat sedikit. Namun, dengan uang yang sedikit, tak
menyurutkan semangatnya untuk terus berbagi. Setiap orang di sekelilingnya
adalah cerminan kehidupannya. Jika di tangannya hanya ada gorengan, maka gorengan
itulah yang menjadi lahannya untuk bersedekah. Kehidupan di Jakarta yang keras
senantiasa memupuk jiwa empati untuk tidak berhenti berbagi.
Saya
suka melakukan perjalanan dengannya. Perjalanan sedekat apapun selalu dipenuhi
dengan diskusi-diskusi yang menarik. Kami sering bertukar fikiran. Tidak jarang
ia mengenalkan saya kepada teman-temannya. Saya hanya lulusan SMA berbanding
teman-temannya yang kebanyakan adalah Sarjana. Namun, saat duduk bersamanya,
kami duduk sama rendah, berdiri sama tegak. Pergaulan di Jakarta menjadi
menyenangkan karena dilingkupi dengan suasana untuk terus berbagi dan menolong
sesama.
Darinya,
saya banyak belajar. Untuk berbagi kepada sesama tidak memerlukan uang kita
sampai milyaran rupiah. Sekecil apapun, jika kita memiliki niat yang besar,
maka jalan untuk berbagi akan senantiasa terbuka. Jika niat baik itu senantiasa
istiqomah dilakukan, maka kita akan terlatih untuk menjadi manusia yang dermawan.
Saat ini, saat kita mampu berbagi sesungguhnya kita sudah sangat kaya.
Kanaz adalah inspirasi Indonesia, kagum banget sama Kanaz, dan mengenal serta bersahabat dengannya betul-betul bikin saya semakin kagum.
BalasHapus