“Comparison is thief of
joy”
Theodore Roosevelt
Scrolling up and down twitter pada sore ini lagi ramai dibahas
mengenai slip gaji. Berapa digit slip gaji yang masuk dalam rekening? Hingga
salah satu cuitan dari akun @Edwardsuhadi muncul di timeline dan mengusik
perasaan saya. Sebagian tulisannya begini,”Kita baik-baik saja, hepi-hepi aja,
damai-damai aja, sampai tiba-tiba melihat ke kiri dan ke kanan”. Kurang lebih
maknanya adalah, kehidupan kita akan baik-baik saja jika kita tidak
membandingkan dengan orang lain. Membaca tulisan tersebut, relate sekali dengan kehidupan yang sedang dan pernah saya alami,
atau bisa jadi dialami oleh semua orang.
Pada rentang usia 20-25an, ketika
kita begitu semangat mencari jati diri, acapkali kita merasa minder dengan
keadaan kita yang berbeda dari yang lainnya, merasa diri serba kekurangan, baik
dari segi otak, asmara, skill, karir, keuangan, dan kebahagiaan fisik lainnya.
Pada usia tersebut, saya merasa
iri melihat teman-teman yang sudah mendapat gelar sarjana dari kampus-kampus mentereng dan mendapatkan pekerjaan yang
bagus, seperti menjadi perawat, guru, kerja kantor-an dan sebagainya. Sementara
saya masih sibuk mencari uang sebagai TKI di Malaysia.
Pada usia tersebut, saya merasa
iri ketika seseorang sudah dilamar oleh kekasih pujaan hati, menikah, atau
sekadar pacaran dan membagikan kebahagiaan asmara mereka di dunia maya.
Sementara saya, boro-boro punya pacar, naksir seseorang saja, saya tidak
berani.
Pada usia tersebut, saya melihat
teman-teman saya tumbuh menjadi gadis ayu dengan wajah berkilau dan enak
dipandang. Dandanannya juga terlihat menawan dengan sapuan bedak, lipstick
serta eyeshadow yang rapi. Sementara saya, memakai lipstick saja tidak berani,
takut dibilang menor.
Pada usia tersebut, lingkaran
pertemanan teman-teman saya terlihat begitu menakjubkan. Saya melihat mereka
sedang duduk di sebuah seminar-seminar keren, sedang berdiskusi di
kampus-kampus yang keren. Sementara saya masih berteman dengan ruang lingkup
teman rantau sesekali dalam satu minggu.
Hingga pada usia tertentu, ketika
saya sangat lelah dengan kehidupan saya yang terlalu asyik membandingkan
kehidupan saya dengan kehidupan orang lain, saya menyadari satu hal,
membandingkan kehidupan kita dengan yang lain terasa sangat melelahkan.
Sebagaimana cuitan di twitter tadi, kehidupan kita baik-baik aja, hepi-hepi aja, sampai kita menoleh ke
kanan dan kiri, dan melihat kehidupan orang lain yang menyilaukan mata sampai
lupa pada kehidupan kita sendiri.
Padahal…
Di usia tersebut, Tuhan sudah
baik banget ngasih kesempatan pada saya untuk bisa bekerja di luar negeri,
ngerasain naik pesawat terbang yang tak pernah terlintas sedikit pun dalam
kepala gadis miskin seperti saya. Saya bisa mengumpulkan pundi-pundi uang jauh
lebih awal berbanding teman-teman saya yang sedang duduk di bangku kuliah. Saya
sudah belajar mandiri karena harus berpisah dari keluarga dengan jarak ratusan
kilometer jauhnya.
Di usia tersebut, saya begitu
menikmati masa jomblo saya. Setidaknya, saya tidak perlu memikirkan orang lain,
tidak perlu merasa cemburu menguras hati, tidak perlu merasakan patah hati dan
segala efek pahit dari jatuh cinta. Saya cukup menikmati dengan pacar khayalan
serta mengolah rasa agar tercipta tulisan-tulisan serta puisi yang indah.
Di usia tersebut, saya memahami,
urusan beli buku jauh lebih murah berbanding beli skincare. Karena saya tahu, hal yang paling saya sukai sejak dulu
adalah buku. Aroma yang paling saya sukai adalah aroma kertas baik berwarna
putih atau krem dengan aroma tinta yang khas. Keindahan yang paling saya sukai
adalah tulisan-tulisan orang yang membuat saya lupa, bahwa saya tidak takut
untuk jatuh cinta pada tokoh-tokoh yang ada diceritakan.
Di usia tersebut, saya berkumpul
dengan para penulis keren yang belum tentu bisa saya temui ketika berada di
Indonesia. Saya bisa menambah pertemanan dari kesukaan saya dalam bidang tulis
menulis.
Kita memang sering lupa,
Tuhan senantiasa memberi yang
kita butuhkan.
Tuhan senantiasa mewujudkan
impian kita tepat waktu.
Tuhan senantiasa mengumpulkan
kita dengan orang-orang yang memiliki passion yang sama.
Tuhan senantiasa menuntun hati
kita untuk merenung, menyadari dan menentukan pilihan.
Ketika keadaan tidak nyaman,
Tuhan ngasih kesempatan kepada kita untuk mundur sejenak dengan memunculkan
rasa lelah.
Ketika keadaan tidak benar, Tuhan
memberikan jalan kepada kita berupa hikmah.
Apapun yang melekat dalam diri
kita saat ini, adalah sebaik-baiknya anugrah yang dikasih Tuhan dengan tepat
dan benar. Tuhan tidak pernah salah memilih dan menuntun. Sadari dan syukuri,
maka kita akan merasakan nikmatnya cukup dan bahagia.
Syukur
Syukur
Syukur.
Komentar
Posting Komentar