Hujan amat lebat begitu kakiku melangkah turun di peron stasiun Kali Deres. Sesuai nama stasiunnya, kali yang bermakna air sungai dan deres yang bermaknaa lebat, maka kedatanganku kala itu disambut dengan air melimpah karena hujan lebat.
Di pelataran stasiun, air menggenang. Tukang ojek memakai jas hujan saling bersahutaan menawarkan jasa ojek. Anehnya, justru tidak ada jasa sewa payung yang jauh lebih dibutuhkan saat akan mencari angkot menuju arah tujuan masing-masing penumpang.
Aku berlari. Seolah berlari menjauhi kenyataan, bahwa di tengah guyuran hujan yang teramat lebat dan pada sekian kilometer perjalanan yang selalu kutempuh, aku masih saja berteman sebuah buku. Selalu beralibi bahwa perjalanan seorang diri jauh lebih enak daripada berjalan berdua yang terkadang alasan-alasan itu hanyalah alasan jomblo.
Aku memberanikan diri menerobos derasnya hujan. Mengikuti perkataan ibu-ibu yang mengatakan bahwa tempat untuk mencari angkot agak jauh dari stasiun. Jalanan becek, motor dan mobil saling berebut jalan, palang kereta api tanpa belas kasihan turun sewaktu-waktu, hujan dan dipenuhi gerutuan dari mulut-mulut banyak orang.
Aku menunggu angkot berwarna hijau-putih, jurusan Kali Deres menuju Kota Bumi. Tidak ada. lalu aku tanya ke salah satu bapak-bapak di pangkalan ojek. katanya, angkot menuju Kota Bumi agak jauh dari sini, harus naik angkot lain dulu dari dekat jembatan tak jauh dari pangkalan ojek. Di sana bisa jumpa berbagai macam angkot dan menuju berbagai macam jurusan. Mendadak saya buta jalan. Kalimat-kalimat penjelasan Bapak tadi berputar-putar seperti gulungan kaset ruwet. Perut saya sudah berteriak lapar. Dan sepatu saya basah. Apes sekali.
Perjalanan pertama naik angkot Kali Deres menuju Kota Bumi pada awalnya berjalan lancar sampai Pasar Baru. Saat itu keruwetan benar-benar semakin menguji. Jam sudah merangkak menuju angka lima dan hujan belum lagi selesai.
"Macet panjang," penjual rokok saling berbagi informasi kepada supir angkot sambil menjajakan rokok di kotak asongannya. Hujan begini, apalagi yang lebih hangat dari rokok dan bergandengan tangan dengan pasangan kekasih.
"Mau ke tempat pacarnya, ya, Mbak?" Supir Angkot mengajak berbincang padaku. Seorang perempuan dengan dandanan cantik dengan nyamannya bersandar di bahuku. Ampun deh. Sudah berkali-kali aku gerakin bahu sebagai bentuk protes dan merasa terganggu dengan aktifitas tidurnya pun tak membuatnya bangun. Kemacetan tidak mengganggunya. Ia tetap nyenyak tidur. Sementara aku balas dengan gelengan ringan kepada sang supir.
"Bukan, Mas. Ke rumah saudara aja"
Motor-motor berusaha menembus kemacetan jalan raya. Sebagian ada yang naik ke trotoar yang udah enggak mirip trotoar lagi karena sudah digunakan untuk mendirikan warung-warung dan segala sampah lainnya. Perlahan-lahan motor saling mencari celah untuk bergerak maju.
Tiba-tiba seorang pengendara motor menyambar kaca spion angkot. Untung enggak sampai patah.
"Monyet, Lo!" Sang supir kontan berteriak. Saat itu aku bisa menyaksikan adegan slow motion ala Rangga yang sedang berjalan di Pasar Kwitang dan melihat Cinta sedang berduaan di mobil. Tatapannya tajam. Lirikannya menghunus. Aku kira akan terjadi pergaduhan.
Alhamdulillah enggak. Mungkin di benak pengendara motor tadi, ia sedang mengadu kepada Tuhan.
"Tuhan, mereka panggil aku monyet!"
Aku jadi teringat, apakah ucapan spontan seperti yang diucapkan oleh sang supir tadi telah memberikan inspirasi pada film milik Djenar Maesa Ayu yang berjudul "Mereka Bilang Aku Monyet?
Ah, Indonesia. Terlalu banyak inspiasi tumpah di negerimu. Setiap perjalanan sekecil apapun selalu penuh dengan cerita.
Indonesia memang selalu penuh cerita yang bakal jadi ide buat pos blog hahaha :D Monyet dan anggota kebun binatang lain seolah menjadi umpatan dasar -_-
BalasHapusterimakasih, Kak Tuteh atas ilmunya. semoga semakin rajin upload tulisan....
BalasHapus