Sebuah layar dari
Elektrokardiograf masih menunjukkan garis isoelektrik secara teratur, dari
gelombang P, menuju gelombang kompleks QRS ke gelombang T. pergerakan dada
berirama teratur, naik-turun dengan nafas pelan-pelan. Beberapa selang menjulur
di bagian kepala tangan dan dadanya. selang infus, oksigen hingga selang yang
menghubungkan ke alat pendeteksi jantung yang berbunyi secara teratur.
Masih ada detak kehidupan
di sana, di tubuh seorang perempuan yang sedang berpacu dengan kekuatan takdir.
Sama seperti layaknya manusia yang sehat dan duduk di sebelahnya yang mengenakan
pakaian steril , sama-sama berpacu untuk menjemput kematian dalam dua keadaan.
Bibir lelaki itu terus bergerak
sambil mengelus lambing salib dalam genggaman tangannya. Meski lirih nyaris tak
bersuara, namun kumandang do’a-do’a nyaris tak berhenti ia lantunkan di dalam
batinnya, berharap sang pemilik hidupnya berkenan memberikan perpanjangan usia.
Hampir dua minggu, ia
melangkahkan kakinya di ruangan putih yang menguarkan aroma obat-obatan,
membuat perutnya serasa mendidih dan memuntahkan seluruh sisa makanan yang
tersimpan dalam perutnya. Ah, ia nyaris lupa. Selama satu hari ini ia tidak ada
sebarang makananpun yang mengalir ke lambungnya, apa yang masih tersisa ?
kecuali cairan pahit, jika dimuntahkan hanya terasa pahit dan berbau.
Di ruangan lain, sebuah
ruangan yang memiliki pintu berlapis-lapis di dalam ruang bawah tanah hingga
tidak sembarang orang boleh masuk sedang terjadi rapat yang begitu serius. Dengan
penerangan yang berasal dari LCD Proyektor, Gerakan cahaya laser berwarna merah
bergerak ke atas, ke bawah, ke samping, berputar menunjuk potret orang per
orang yang akan menjadi sasarannya Seorang
pemimpin nampak serius memberikan arahan,
“10.30, “ ia mengatur
waktu setelah mendapatkan beberapa kode pesan yang diambil dari salah sebuah
telefon,
Kemudian cahaya merah dari
laser terus bergerak, menelusuri peta yang akan menjadi sasaran pada sebuah
misi SRNH . beberapa kepala saling mengangguk, menyimak interupsi dari sang
pemimpin.
“Hanya enam kepala, “
kemudian ia menyilang beberapa foto yang ada di layar.
“50 pasukan “ ia menunjuk
salah seorang berseragam, lalu memberikan tanda silang berwarna merah, sama
seperti wajah enam orang lainnya.
“ Dead!”
Beberapa jam kemudian,
rapat telah selesai. Satu persatu orang bangkit dengan kepala nyaris berasap. Sebuah
misi atas nama Negara yang tidak boleh gagal.
Harga dari sebuah politik adalah kehormatan atau kematian
###
Wajah lelaki itu pucat.
Langkah kakinya menyusuri pelataran gereja yang sunyi. Ia berhenti sejenak di
pedagang kaki lima yang menjual berbagai makanan kering, ia mengambil sekeping
roti dan air minum. Ia mengulurkan uang lima ribuan dan mendapatkan kembalian
seribu. Ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju gereja, meninggalkan
sejenak seseorang yang masih terbaring di ranjang ruang ICU.
Ia mengusap kayu-kayu
panjang yang terbuat dari jati berwarna coklat tua tempat umat berkumpul dan
berdoa. Aura sejuk menyentuh kulit tubuhnya yang hanya terbalut dengan kaos
lusuh. Ia mengambil duduk di salah satu sudut, menundukkan kepala dengan mulut
tak berhenti mengucapkan do’a.
“Sang pemilik hidup-Sang
pemilik kekekalan “
Hanya dua kalimat yang ia
lantunkan. Berharap sang pemilik hidup yang ia percaya sepenuh hati memberikan
jalan keluar, jalan pulang menuju keabadian dengan jalan yang terang.
dokter menggeleng
perlahan, “masih belum ada perkembangan,“ ungkapnya. Beberapa saat kemudian
dokter membalikkan badan, mengambil jarak lebar untuk melangkah, namun sebentar
kemudian ia berbalik lagi,
“Maaf, bukan maksud saya
untuk membuat anda putus asa, hanya melihat tidak ada perkembangan yang lebih
baik selama ini, saya menyarankan anda untuk memikirkan jalan lain “,
Lelaki itu menegakkan
kepalanya, “bertambah hari, tentu bertambah banyak bilangan tagihan yang harus
anda bayar,“ lanjut Sang dokter
“Ya, Saya mengerti.“
lelaki itu mengangguk beberapa kali hingga sang dokter sudah melangkah,
menyisakan punggung badannya yang tegak.
Lelaki itu membasahi kerongkongannya
yang terasa kering. Ia menimbang-nimbang akan uang yang baru saja ditawarkan
oleh rekannya juga keadaan istrinya yang sedang terbaring di ranjang.
“Berkorban,“ katanya.
Mengorbankan nyawa untuk keselamatan nyawa orang lain. Ia mengamati secara serius
ketika rekannya menjelaskan prosedur dari misi yang akan dijalankan,
“kamu hanya perlu di sini,
dan Bummm,” tangan lelaki itu tersentak ke atas menggayakan sebuah letupan
keras setelah memberi gambaran sebuah peta lokasi di kertas yang ada di tangannya,
“Finish.“ Ia tertawa, terbahak hingga memegangi perutnya.
Lelaki itu mengerutkan
keningnya, “seberapa besar harga nyawa saat ini ?”
“Tidak berharga ketika
kamu hanya menjadi pemungut sampah dan busuk “
###
Kekacauan itu benar-benar
terjadi. Di dalam pemberitaan berbagai media, khususnya media elektronik, berita
pengeboman salah sebuah gereja yang sedang melakukan upacara perayaan dikabarkan terjadi ledakan. Meski perayaan
itu sudah dijaga oleh aparat keamanan dengan begitu ketat. Belum ada kabar yang
pasti, hanya ada beberapa putaran video amatir yang direkam tanpa sengaja oleh
orang yang berada tidak jauh dari kawasan kejadian. Suaranya begitu keras
disertai jeritan orang-orang yang berlari menyelamatkan diri. Selanjutnya asap
hitam mengepul di udara.
“BOM!”
“Astaghfirullah…”
“Shit!” lelaki dengan
seragam biru gelap itu mengumpat kasar di markasnya. Suasana tegang menyelimuti
wajah orang-orang yang ada di sana selepas laporan pengeboman diterima. “satu
langkah lebih cepat.”
Rencana operasi yang sudah
mereka susun berbulan-bulan lamanya harus kacau oleh serangan tak terduga. Mereka kecolongan satu langkah. Kepala ular
yang sudah hampir di genggaman tangannya harus lepas. Sementara di media, spekulasi tentang ledakan
bom tidak terbendung. Islamphobia, islam radikal, perempuan bercadar dicurigai,
bom bunuh diri dan sebagainya. korban bom yang mendapatkan luka-luka masih
meringis nyeri, antara sadar dan tidak sadar dirinya masih hidup. Serta dengung
suara tak jelas di sekitarnya. Telinga masih berdengung nyeri.
Sirine ambulan bergaung.
Aparat keamanan, densus 88 dalam hitungan jam sudah memenuhi tempat kejadian.
Wartawan serta orang-orang yang datang untuk menyaksikan lokasi tampak memenuhi
jalananan meski aparat sudah melarang mendekat.
Di ranjang rumah sakit, perempuan
itu bernafas satu-satu sebelum akhirnya nafas panjang diikuti rasa tercekik
menjadi pengakhir pernafasannya.
“Hubungi keluarganya,
Sus.” Dokter berucap lirih sambil menutup kain putih menutupi wajahnya.
“Tidak ada keluarga yang
datang selain suaminya, dok. Dan setelah melakukan pelunasan biaya rumah sakti,
saya tidak melihat lelaki itu datang kembali.”
“Yang lebih dekat dari kematian adalah putus asa.” Pesan kaleng baru saja
diterima oleh pihak markas keamanan negara. “darah
untuk Sang Presiden”.
Komentar
Posting Komentar