Final dari
euphoria UAS UTKL sudah mencapai puncak. Ketika bulan November tahun lalu,
hampir semua mahasiswa berkutat dengan soal-soal, kini saatnya Mahasiswa
berkutat dengan nilai. Ada yang nilainya bagus ada juga yang rusak parah,
termasuk penulis sendiri. Hahahahaha
Berbicara
mengenai nilai-nilai yang didapat di bangku sekolah semenjak saya duduk di
bangku Sekolah dasar, sekolah menengah, menengah atas hingga saat ini merasai
kebahagiaan disebut sebagai mahasiswa, saya tidak pernah mendengar keluhan
apapun dari orang tua mengenai hasil tes. Hanya euphoria zaman dulu dengan
zaman sekarang tentu saja beda.
Masih ingat ? saat
SD, ketika ibu ataupun bapak mendapat surat undangan dari sekolah untuk
mengambil rapor ?kita gegap gempita menyambut hari itu datang karena akan
pulang lebih awal. hanya orang-orang pilihan yang tinggal, tentu saja yang
cantik dan popular untuk jadi penyambut tetamu dan pembagi snack. Nah, yang
tidak mendapat tugas tetep aja senang, karena nantinya snack dari orang tua
bakal diwariskan ke anaknya.
Deg-degan
menunggu rapor kuning yang disimpan di ketiak orang tua kita.
“Ealah, nek nganti ora munggah tak kon turu
nang longan “ ungkapnya dengan loghat khas emak-emak ngegosip di jalan.
Kalau enggak lulus suruh tidur di kolong
“ora tak kei sangu, ora tak tukaake sepatu
anyar” sambung yang lainnya tak kalah semangat
“Ah, mberoh nek kon sinau jan angel banget
“
Yah, begitulah
orang tua ketika ambil rapor zaman SD, rempong bersama kaumnya sementara anak-anak
pada ngumpet bergerombol, harap-harap cemas semoga naik kelas. Begitu juga dengan orang tuaku, meski enggak
serempong orang lain karena tahu, anaknya ini meski ga punya nilai bagus dan
berada di urutan akhir yang penting naik kelas dan di kepalanya sudah berfikir
untuk menyediakan uang guna membeli perlengkapan di kelas selanjutnya.
Ketika jenjang
pendidikan semakin tinggi, di madrasah Tsanawiyah tentu saja enggak serempong
zaman SD. Sejak saat itu, Simbok sudah tidak masuk campur dalam pendidikan anak
bungsunya. Segala tetek-bengek
sekolah selalu diurus bapak. Simbok di rumah hanya menyediakan baju batik dan
celana katun yang jarang sekali tersentuh setrika. Menyelipkan sekotak rokok 76
dan korek api. Peci hitam nan nyecis lalu jalan kaki sampai jalan besar untuk
mendapatkan mobil ke sekolah. Tidak ada kasak-kusuk, begitu sampai rumah lagi
hanya menyodorkan buku hijau itu agar anaknya melihat sendiri. Adakah posisiku
tergeser ? kemudian hanya senyum mengembang ketika posisi masih istiqomah
selama tiga tahun.
Ketika masuk
bangku SMA, orang tua sudah tidak menampakkan dirinya lagi. Jarak rumah dan
sekolah di mana ongkosnya bisa buat beli sepatu baru membuat mereka urung
datang dan mewakilkan kepada kepala pondok. Pada usia itu sudah tidak
memikirkan tentang nilai lagi, tapi memikirkan peringkat. Dengan jumlah pelajar
cewek hanya enam orang di kelas sungguh menjadi persaingan ketat. Karena berada
di satu pondok, maka ketika belajar harus memiliki basecamp sendiri-sendiri
agar orang lain tidak tahu taktik kita belajar. Yah, karena zaman SMA bukan
soal nilai saja yang diunggulkan tapi nasib biaya sekolah yang menjadi
perjuangan. Jika mampu mempertahankan prestasi, tentu saja bisa meringankan
uang sekolah.
Ketika masuk
bangku kuliah, kedua orang tua hanya berbicara melalui telefon menyebutkan
mantra-mantra doa dengan khusyuk. Apa sih yang bisa diberikan dengan jarak
bermil-mil jauhnya selain do’a. namun, kekuatan do’a mereka itulah yang
menuntun anak-anaknya untuk tegar bekerja membanting tulang selama satu minggu
full dan masih harus belajar agar bisa dapat nilai yang bagus.
Saya sangat
yakin, disebalik sikap mereka yang diam dan tidak pernah memaksa kita untuk
selalu menjadi nomer satu, yang tidak pernah memarahi kita di manapun posisi
peringkat kita di kelas, mereka adalah insan-insan yang memiliki keyakinan
teguh untuk menggantungkan setiap doanya kepada Ilahi, sang pemilik hidup
anaknya.
Jika mereka bisa
berujar, tentu mereka akan berbicara dengan lemah lembut,
“Nak, hiduplah
sesuai dengan zamanmu. Emak tidak tahu bagaimana hidup saat ini karena
kehidupan emak dan kamu sangat berbeda. Emak sangat yakin, Tuhan tidak akan
melepaskan urusan makhluknya begitu saja, kemanapun kau melangkah, Tuhan yang
akan menuntunmu. Berbudi pekertilah, beribadahlah, karena hanya itu sebenanrnya
tugas kita “
Hanya itu, orang
tua, emak-bapak tidak pernah meminta kamu harus menjadi nomer satu , tak pernah
meminta kamu untuk mendapatkan uang banyak, tidak pernah meminta kamu untuk
mendapatkan calon suami yang kaya raya nan pintar. Namun orang tua akan selalu
menuturkan doa-doa nan tulus yang tidak akan pernah mampu diukur harganya.
Di sini saya
mendapatkan emak baru, majikan saya sendiri. Ia juga sama seperti simbok di
kampung halaman. Ia yang bertanya kapan nilai ujian akan keluar, bagaimana
hasilnya meski diujung kalimatnya hanya diakhiri dengan senyuman,
“Yang penting
sudah usaha “, katanya
Komentar
Posting Komentar