Langsung ke konten utama

Pelabuhan Hati Tarmijah


Cerita duka pembantu rumah tangga
Harga Tarmijah sebulan delapan ribu rupiah
Di pagi buta sedang pulas tidur kita
Neng Tarmijah sudah bangun lalu bekerja
Siapkan sarapan…
Bersihkan halaman….
Siapkan pakaian….
Seragam sekolah untuk anak majikan….
Setelah beres Tarmijah dipanggil nyonya
Pergi ke pasar belanja ini hari
Asin sedikit Tarmijah di caci maki
Masakan lezat tak pernah di puji
Oh sudah pasti keki
Namun hanya disimpan dalam hati
Di malam minggu anak majikan berdandan
Sambut sang pacar itu suatu kewajiban
Nona Tarmijah tak mau ketinggalan
Lalu berdandan siap untuk berkencan
Nyonya majikan lihat Tarmijah berkencan
Di muka rumah terhalang pagar halaman
Nyonya naik pitam
Tarmijah kena hantam
Nyonya naik pitam
Tarmijah kena hantam…(Iwan Fals)

  “Setidaknya Tarmijah sempat berkencan dengan kekasihnya meski kena hantam majikan”, umpatku sambil menekan pause pada keypad laptopku. Suara merdu penyiar radio dari Buruh Migran di Yogyakarta sana mendadak berhenti.

   Aku jadi membandingkan kisah kasihku dengan kisah kasih Tarmijah. Kisah cintanya jauh lebih manis, meski tak semanis hidupnya sebagai pembantu rumah. Bisa turut serta bersama anak majikan berdandan, lalu menunggu pacar di depan gerbang rumah. Kencan malam minggu seperti yang selalu diagungkan ketika zaman belum secanggih sekarang. Menyemprot minyak wangi senyonyong di seluruh badan, menyisir rambutnya secara klimis, menyetrika bajunya lebih rapi semata- mata untuk berkencan dengan kekasih pujaan hati. 

   Malam minggu yang hanya dimiliki oleh perempuan-perempuan dewasa yang sudah siap untuk menikah bersama lelaki yang sudah berjambang dan berkumis nipis, tersenyum malu-malu menyapa ke rumah dan tunduk salam kepada kedua orang tua. Sementara gadis-gadis kecil dan anak lelaki  sibuk bermain petak umpet di bawah sinar rembulan purnama yang bersinar benderang. Karena saat itu, dunia hiburan di layar kaca hanya milik Pak Lurah.

   Kisah cinta Tarmijah seperti biji kopi sangrai yang tersimpan dalam toples kaca dapur. Aromanya wangi bagi siapa saja yang menghidunya, namun pahit bagi yang merasa. Sementara kisah cintaku, sama-sama seperti biji kopi, namun biji kopi tengik. Tidak enak dihidu dan tidak enak diramu.

   Namanya, Ah Kong. Biasanya dipanggil Koko Ah Kong. Seorang lelaki berdarah cina yang sudah mengobrak-abrik kisah asmaraku selama beberapa tahun. Dia adalah  majikanku.

   Aku tidak tinggal di kompleks perumahan Kalijodo, tempat yang sangat legenda di mana para Gundik mendapatkan pasangan dari para saudagar-saudagar China yang sedang berlayar ke daratan Indonesia. Aku juga bukan salah satu pelacur Gang Dolly yang bisa merasa jatuh cinta dengan pelangganku saat kencan satu malam.

   Aku hanya seorang pembantu rumah yang tinggal di Sentral Perdagangan Petailing Street, kompleks pecinan  yang menjadi tujuan wisatawan asing di Kuala Lumpur. Cece Ai-Ling, Istrinya memiliki bisnis toko yang digelar di depan rumahnya, bersambung dengan rumah tempatnya tinggal. Menjual berbagai pakaian branded tiruan dengan harga murah. Sementara itu, suaminya bekerja di Kantor dan jarang di rumah kecuali malam hari dan akhir pekan.

   Petailing Street merupakan kawasan yang menjual berbagai barang branded mulai dari handphone, tas, aneka pakaian, sepatu dan berbagai aksesories lainnya. Berhadapan dengan kawasan Pasar Seni, sebuah sentral kerajinan tangan yang menjual berbagai barang kerajinan tangan baik lukisan, pakaian khas Malaysia serta souvenir. Banyak wisatawan mengunjungi kawasan ini setiap harinya. Terlebih para imiran yang bekerja dan menghabiskan waktu cutinya dengan jalan-jalan ke sini untuk sekedar makan maupun berbelanja.

  Ini hari minggu dan toko biasanya ramai. Aku dipanggil majikan untuk membantu berjualan. Ah Kong duduk di kursi tinggi sambil membaca Koran, terlihat tidak tertarik untuk membantu istrinya berjualan. Di tangannya memegang Koran berbahasa cina yang tidak pernah aku mengerti. Sesekali ia memanggilku jika sedang tidak melayani pembeli.

  “Amoi, tolong buatkan saya kopi?” pintanya dengan nada lembut, namun aku bisa melihat kerlingan nakal saat ia mengerdipkan satu matanya sambil tersenyum miring ke arahku. Aku tersenyum. Berjalan berlenggak-lenggok masuk ke dalam rumah sambil melirik ke arahnya. Pandangan matanya tidak lepas dari gerakan kedua bongkahan pantatku yang berayun seksi. 

Tidak lama kemudian ia menyusulku ke belakang. Aku bisa merasakan kedua tangannya yang sudah melingkari perutku. Kepalanya sudah bersembunyi di cekukan leher sambil menciuminya. Mengendus rambut adalah kesukaannya. Katanya, rambutku wangi bayi.  Aku bisa merasakan deru nafas hangatnya yang membelaiku. Belaian yang selalu aku rindukan,

   “Aku sedang memegang air panas, Ko” keluhku namun tidak mendapat perhatian. Bukan apa, aku hanya takut jika tiba-tiba Cece Ai-Ling masuk ke dapur dan menjumpai suaminya sedang memelukku lalu air panas yang ada di pegangan tanganku jatuh mengenai kaki kami berdua yang hanya beralaskan slipper. Pasti sakit.

  Kisah asmaraku bersamanya sudah berjalan beberapa tahun, namun tidak diketahui oleh Cece. Entah karena kami terlalu pandai bersandiwara atau Cece Ai-Ling yang terlalu bodoh dan tidak bisa membaca tingkah laku kami. Jika Cece sedang ke luar kota, bersembahyang di Genting Highland maupun berbelanja ke Thailand, Koh Ah-Kong sering menyusup ke kamarku, tiba-tiba memelukku dan menjadikanku sebagai guling malam yang memberinya kehangatan.
***
  “Macam mana perkembangan Kau dengan Ah Kong?” Sari bertanya sambil meniup-niup potongan Mushroom pada kuah Yee Mee yang ada di depannya. Kami berdua sedang menikmati makan malam di foodcourt Central Market. Tempat makan bergaya bangunan kuno khas Malaysia dengan hiasan jendela-jendela kayu.

   Diantara teman-temanku sesama pekerja, Sari termasuk orang yang paling tahu mengenai hubunganku dengan Ah-Kong. Pekerja seperti kami sudah tidak aneh menjalin hubungan dengan pria asing, menjalin kasih dengan Bule ataupun lelaki Pakistan yang memiliki hidung mancung dan ganteng. Namun, menjalin hubungan dengan seorang laki-laki Tionghoa dan sudah memiliki istri tentu masih terasa asing.

   Banyak pekerja yang menjalin hubungan sampai ke jenjang pernikahan. Pernikahan beda agama, kultur dan beda kewarganegaraan bukan sesuatu yang baru. Jika berjalan ke sentral-sentral wisata di Malaysia seperti Batu Caves, Dataran Merdeka maupun ke pusat perbelanjaan di area Bukit Bintang maupun Pavillion, banyak sekali perempuan-perempuan yang berpakaian seksi bergandengan tangan dengan bule. Entah, apakah menjalin hubungan dengan bule ganteng meski sudah tua bisa meningkatkan kelas buruh kami? atau kami hanya merasa senang karena bisa pamer memiliki pasangan yang ganteng dan bisa memperbaiki keturunan?

   “Apa dia bersedia menikahimu?” dari sekian banyak pertanyaan, inilah yang paling aku benci. Status pernikahan yang belum ada kejelasan. Aku sendiri merasa bingung untuk menghadapi kisah asmaraku kali ini. aku terlalu nyaman dengan perasaan jatuh cinta yang seperti naik rooler coaster. Ada rasa takut, tertantang namun ketagihan. Aku tidak bisa berlepas diri darinya.

   Dia menawan dan cukup matang. Aku tahu setelah bekerja dengannya selama beberapa tahun. Hubungannya dengan Ai-ling juga tidak terlalu baik. Aku sering mendengar keduanya bertengkar. Ai-ling juga bukan perempuan yang cukup perhatian kepada suaminya. Komunikasi keduanya tidak pernah lebih membahas tentang pekerjaan. Keduanya juga tidak memiliki anak. Meski begitu, aku belum berani untuk bunuh diri dengan tidak bermain aman saat bercinta dengannya sampai membuatku hamil.

   Sebagai perempuan yang sudah melalang buana soal asmara bukan berarti hubunganku dengan Ko Ah-kong tidak aku fikir matang-matang. Aku sudah cukup dewasa. Pengalaman asmaraku mulai dari ABG sampai sekarang menginjak kepala tiga sudah tidak bisa terhitung. Aku pernah memacari anak Band yang biasa hidup di jalanan, dengan rambut gaya Punk, penuh tattoo dan banyak tindik menghiasi telinga dan hidungnya. Pernah juga menikah dengan salah seorang petani kampung meski setelah dua tahun menikah, kami bercerai. Selanjutnya, kisah asmaraku tidak lebih dari berteman mesra dengan para kuli bangunan yang sama-sama dari Indonesia.

   Perempuan-perempuan seperti kami sering disebut sebagai Panadol. Obat sesaat saat sakit kepala mendera lalu  dilupakan. Tidak papa, aku tidak keberatan. Sudah lama aku tidak memiliki tanggungan apapun, agama sekalipun. Hidup hanya sekali, nikmati saja permainan hidup yang penuh ketidakpastian ini. Namun, ada kalanya aku jenuh. Aku menginginkan kehidupan mapan. Pulang ke rumah. Melabuhkan hati kepada seseorang yang benar-benar mencintaiku sebagai seorang perempuan bukan sekedar pemuas nafsu belaka.

   “Aku tidak tahu”, jawabku putus asa.
***
   “Kita akan ke mana, Ko?” Aku mengajaknya berbicara di meja dapur. Di depannya sudah tersedia Yong Tau Fu, makanan kesukaannya. Dia sedang makan dan aku menemaninya. Ce Ai-Ling sedang ke jepang bersama teman-temannya sejak dua hari yang lalu.

  Dia memandangku sejenak, memundurkan mangkuk sup dan berganti meraih tanganku.

  “Bolehkah jika cukup seperti ini?”

   Aku menunduk, aku tidak tahu kenapa kali ini aku hampir menyerah bosan. Hubungan kami tidak pernah berjalan ke mana-mana. Aku mencintainya, tapi aku tidak tahu dengannya. Aku tidak bisa beranjak untuk melepas diri darinya, begitu juga dirinya. Hubungan kami tidak jauh dari lingkaran birahi yang saling memuaskan namun tidak memiliki tujuan. Dan aku lelah.

    Kepada siapa lagi aku akan melabuhkan hati jika seseorang yang aku anggap selalu memberi kenyamanan juga tidak memberikaku kepastian. Mungkinkah kali ini aku harus mengemis kepada Tuhan yang selalu aku lupakan keberadaannya? Karena aku sendiri sudah cukup lelah.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seni Tertawa Bersama Raminten Kabaret

Kabaret Show mungkin sebuah pertunjukan baru di Indonesia, apalagi di Yogyakarta. Jika dulu di   tanah Jawa terkenal dengan pertunjukan tradisional seperti Ketoprak, Ludruk, Srimulat, Wayang, Tayuban, Tembang Dolanan, Ebeg, Laisan, Lengger Calun dan lainnya, kini ditampikan seni pertunjukan baru yang mengundang gelak tawa. Dalam sejarahnya, kabaret mulai muncul pada tahun 1965, sementara pada tahun 1912 kabaret diartikan sebagai representasi dari restaurant atau night club . Raminten Kabaret  Konten dari pertunjukan Kabaret berbeda-beda. Contohnya, Belanda dan Jerman memasukkan konten dengan muatan politic satire. Di Amerika Serikat memasukkan konten Stand up Comedy , sementara Perancis yang memiliki sejarah tertua cabaret, biasanya melakukan penampilan dengan jumlah penari yang besar. Di Yogyakarta sendiri, Kabaret Show menampilkan seni menyanyi lip-sync yang diperankan oleh Cross Dresser. lagu-lagu yang ditampilkan berbagai macam, ada dangdut, pop Indonesia b...

Belajar Kaya Dari Anazkia

Sebagian orang memilih untuk berbagi pada saat sudah kaya. Sedang makna kaya sendiri itu relatif. Bisa jadi uang jutaan rupiah masih belum bisa disebut kaya karena di dalam fikirannya masih membayangkan uang milyaran rupiah. Bisa juga definisi kaya adalah saat kita mampu berbagi kepada sesama insan yang membutuhkan dalam keadaan apapun. Saya tidak tahu mau menempatkan diri saya pada definisi yang mana satu. Karena bagi saya sendiri, saya masih belum mampu untuk berbagi seperti yang dilakukan oleh seorang Anazkia. Mengenalinya sejak lima tahun yang lalu karena memiliki kesamaan hobi, yaitu menulis, membuat saya selalu kagum dengan dirinya. Ia sama seperti saya saat itu, yaitu seorang buruh migran yang memiliki hobi menulis. Jika sebagian buruh migran yang merasakan penat dan lelah bekerja memilih untuk mengisi waktu luang dengan Me Time , berbeda sekali dengannya. Ia gigih dan semangat untuk melakukan kegiatan sosial. Kegiatan sosial yang ia lakukan dari jarak jauh adalah men...

Kita Baik-baik Saja, Sampai.....

“Comparison is thief of joy” Theodore Roosevelt Scrolling up and down twitter pada sore ini lagi ramai dibahas mengenai slip gaji. Berapa digit slip gaji yang masuk dalam rekening? Hingga salah satu cuitan dari akun @Edwardsuhadi muncul di timeline dan mengusik perasaan saya. Sebagian tulisannya begini,”Kita baik-baik saja, hepi-hepi aja, damai-damai aja, sampai tiba-tiba melihat ke kiri dan ke kanan”. Kurang lebih maknanya adalah, kehidupan kita akan baik-baik saja jika kita tidak membandingkan dengan orang lain. Membaca tulisan tersebut, relate sekali dengan kehidupan yang sedang dan pernah saya alami, atau bisa jadi dialami oleh semua orang. Pada rentang usia 20-25an, ketika kita begitu semangat mencari jati diri, acapkali kita merasa minder dengan keadaan kita yang berbeda dari yang lainnya, merasa diri serba kekurangan, baik dari segi otak, asmara, skill, karir, keuangan, dan kebahagiaan fisik lainnya. Pada usia tersebut, saya merasa iri melihat teman-teman...