Kang Fuad |
Aku memanggilnya
Kang Fuad, terkadang Fat namun lebih sering kupanggil sebagai Mas Bro karena
pertemuan kami sangat jarang dan lebih sering melalui pesan singkat baik
melalui Whatsapp maupun sms. Dia adalah teman sekolahku sejak MTs maupun SMA.
Saat di MTs, ia satu tahun lebih atas dariku, lalu ia istirahat setahun sebelum
melanjutkan ke SMA. Ia lalu melanjutkan di SMA yang sama. Saat kelas satu,
cowok dan cewek duduk di kelas yang
berbeda. Setelah naik kelas, barulah kami digabungkan karena sudah penjurusan.
Aku masuk kelas
IPA sementara ia masuk IPS, semua dipilihkan oleh guru berdasarkan kemampuan
nilai akademik di kelas sebelumnya meski sebelumnya siswa diberi kebebasan
untuk memilih jurusan apa yang mau diambil. Atas pertimbangan yang matang,
akhirnya aku mengikuti saran guru, yaitu masuk kelas IPA. Sementara Fuad, ia
menjadi pelajar pemberontak. Meski guru mempercayai agar ia masuk IPS, namun ia
nekat masuk ke IPA, maka ia sering dijuluki sebagai siswa pengusiran, namun ia tetap
percaya diri, ia tetap duduk di bangku kelas IPA, bahkan sering juga
dibercandain sama wali kelas.
Namun, lama-lama
kelas tetap berjalan normal, bahkan keberadaan kang Fuad menjadi penambah seru
kelas. Saat itu, di kelas hanya ada enam cewek, sementara 10 orang lainnya
adalah cowok. Tentu keadaan itu tidak berimbang sekali. Namun, tetap aja seru.
Dia bersama dua temannya menjadi geng paling rame dan suka bolos. Suka usil,
kalau tertawa paling keras. Pokoknya, kehidupan di kelas IPA saat itu menjadi sangat
seru dengan kedatangan dia bersama dua temannya yang rame.
Dulu sih, saat
masih SMA, jarang sekali untuk ngobrol bersamanya. Cewek dan cowok jarang sekali
ngobrol berduaan, paling ngobrolnya secara bergerombol. Saling menyapa juga paling pas dia mau pulang kampung maupun
aku yang pulang kampung. Karena kami tinggal satu kampung, maka kami menjadi
manusia dengan system hidup simbiosis mutualisme, tentu saja untuk urusan
keuangan saja, dia minta kiriman uang, maka ia akan bilang ke aku, begitu
sebaliknya. Namun, ada hal yang paling bikin jengkel, saat itu ada kegiatan
wisuda dan dia yang pulang kampung untuk memberi kabar ke rumah. Eh, dia malah
salah ngasih informasi, seharusnya yang datang adalah seluruh orang tua murid
baik cowok maupun cewek, namun ia Cuma bilang hanya wali murid cewek, jadilah
bapakku hanya datang seorang diri.
Setelah lulus
SMA, kami menyempatkan diri untuk bertemu, terkadang di akhir pekan. Dia datang
ke rumah karena rumah kami berdua dekat, hanya depan dan belakang gang. Dia tidak
melewatkan rokok lintingannya. gaya
khasnya adalah memakai sarung dan kemeja. Untung saja anaknya ramai, karena aku
sendiri cenderung menjadi cewek yang pasif, tidak terlalu suka banyak bicara.
Ia mulai
bercerta mengenai kehidupan lucu di pondok pesantren. Sebagai cowok nakal,
katanya ia tidak pernah dipanggil oleh pembina pondok, entah karena apa.
Beberapa bulan kemudian, ia justru diangkat sebagai seksi keamanan yang
bertugas mencatat dan menghukum siapa saja yang melanggar aturan pondok.
Ternyata cara pembina pondok itu cukup jitu, ia menjadi malu untuk melanggar
aturan pondok seperti meninggalkan sholat jamaah dan sebagainya.
Banyak sekali
hal-hal lucu yang ia ceritakan. Entah, ide konyol untuk melakukan hal-hal itu
berasal dari siapa. Toh, aku mengenali ia sebagai anak baik-baik yanag rajin
dan pendiam saat MTs.
Beberapa hari
yang lalu, kami dipertemukan kembali. Sejak SMA dan aku pergi ke Malaysia, bisa
diperkirakan empat tahun kami tidak bertemu dan ngobrol. Biasanya, jika aku
sedang cuti pulang kampung, ia sedang kuliah di Yogyakarta. Lagipula, aku
jarang sekali cuti dalam waktu lama, paling dua minggu.
Jum’at malam, ia
datang. Masih tidak lupa membawa rokok dan memakai sarung. Ia duduk di ruang
tamu dan aku suguhi kopi hitam kesukaannya. Kami mulai ngobrol banyak hal
mengenai apa saja yang ia dapatkan di kampusnya. Tingkah usilnya bersama dosen
maupun pengalaman-pengalamannya ketika mengajar anak-anak jalanan di sebuah
yayasan sosial.
Pembahasan lalu
berubah menjadi lebih serius ketika dia mulai membicarakan tentang hidup,
“pada akhirnya,
manusia hanyalah serupa jasad-jasad. Tidak ada label kafir, islam, atheis,
syurga maupun neraka di jidat masing-masing orang, karena yang bisa melabeli
islam, kafir, syurga dan neraka hanyalah hak Tuhan”, katanya, dan aku
menyetujuinya,
“Aku tidak suka
kepada siapapun yang terlalu fanatik terhadap keyakinannya, merasa paling benar
sehingga menjudge orang lain salah “
Iya, aku
mengakui, pada beberapa tahun yang lalu, ketika kehidupanku hanya terkungkung
pada sebuah ajaran my life is better than
others people, agama yang aku yakini adalah yang paling baik sehingga
secara tanpa sadar menyalahkan agama orang lain, aku terlalu fanatic terhadap
yang aku yakini. Namun, seiring waktu ketika aku mulai keluar dari kampung
halaman, bertemu orang dengan berbagai latar belakang, ada yang Muhammadiyah,
Nahdzotul Ulama, LDII, Kristen, Katholik, China bahkan sampai yang atheis, saya
mulai berfikir bahwa keyakinan dan kebenaran jalan yang kita lalui adalah apa
yang ada di dalam dada kita.
Pada akhirnya,
manusia hanya perlu memanusiakan manusia, berbuat baik kepada mereka selayaknya
mereka sama dengan kita. Tidak perlu saling merendahkan satu sama lain, karena
tujuan dari kita hanya untuk mensejahterakan alam, menjaga alam agar tetap
damai dan saling mengasihi.
Lagi-lagi bahwa
keyakinan dan urusan syurga dan neraka hanyalah urusan Tuhan. Tugas manusia
hanya sekedar menjalankan apa yang Tuhan perintahkan sesuai dengan
keyakinannya. Ketika dalam diri seseorang ada Tuhan, maka ia akan melihat orang
lain juga ada Tuhan sehingga timbul rasa untuk terus berbuat baik kepada
siapapun itu, tanpa melihat apa latar belakangnya.
Ketika kemarin berangkat bareng ke
Yogyakarta, kami ngobrol di tengah konsentrasinya menyetir motor, dia
menanyaiku tentang, adakah aku punya cowok ? aku hanya menanggapinya dengan
tertawa. I don’t know, aku termasuk manusia yang gagal dalam hal ini. aku
sering belajar dari kehdupan orang lain, bagaimana menjalani kehidupan romansa,
bagaimana untuk berbaur dengan makhluk yang namanya lelaki. Ya, meski
bagaimanapun, aku bukanlah cewek yang tidak memiliki perasaan apapun terhadap
cowok.
Dan, ia juga tipe manusia yang selalu
blak-blakan dalam hal apapun, termasuk saat dia mengejar seseorang yang dia
suka. Aku hanya bilang aja sih, jika merasa yakin untuk menjalani masa depan
dengannya, perjuangkan dong!
Dia juga mulai berteori lagi. Teori
sosiologi. Untungnya sih kita berdua sama-sama orang sosiologi, kalau aku
sosiologi umum, sementara ia sosiologi pertanian.
“manusia saat ini kembali ke zaman lampau.
Kamu ingat, dulu masing-masing Negara saling bermegahan soal bangunan-bangunan
megah, Yunani, fir’aun, hingga candi-candi besar di Indonesia juga dibangun
untuk bermegah-megahan dalam segi bangunan. Siapa yang bisa membangun paling
bagus, maka dia dianggap hebat. Selanjutnya, manusia memasuki era tekhnologi,
siapa saja yang bisa menciptakan tekhnologi canggih, maka dianggap hebat.
Sekarang kembali lagi ke zaman dulu, siapa yang memiliki materi lebih selalu
diangap sebagai manusia berhasil”
Iya, kau menyetujui itu. Sebagai anak muda
yang bekerja di luar negeri, hal yang paling terlihat nyata di depan semua
orang adalah seberapa banyak materi yang sudah terkumpul, apa sudah bisa
mendirikan rumah sendiri, bisa kuliah, bisa punya tanah dan begitu banyak
materi lainnya.
Intinya, aku sangat menyukai ketika ngobrol
bersamanya. Selalu ada banyak hal yang baru, teori-teori baru dan selalu ngajak
berfikir.
Semoga kekal menjadi sahabat, Kang.
Komentar
Posting Komentar